BAB I
PENDAHULUAN
Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, pembangunan di bidang pendidikan merupakan sarana dan wahana yang sangat penting dalam pembinaan sumber daya manusia. Penyelenggara pendidikan tersebut salah satunya adalah pendidikan formal yaitu pendidikan di sekolah. Pendidikan di sekolah diberikan dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa anak itu dapat dididik, anak itu dapat belajar. Persoalan yang penting ialah bagaimanakah anak itu dapat belajar, belajar yang menciptakan kesenangan, belajar yang menumbuhkan semangat dan belajar yang membuat anak didik tersebut menganggap bahwa belajar itu merupakan kebutuhan sehari-hari.
Matematika salah satu mata pelajaran yang memberikan kontribusi positif tercapainya masyarakat yang cerdas dan bermartabat melalui sikap kritis dan berpikir logis. Matematika diajarkan bukan hanya untuk mengetahui dan memahami apa yang terkandung dalam matematika sendiri, tetapi metematika diajarkan pada dasarnya bertujuan untuk membantu
melatih pola pikir siswa agar dapat memecahkan masalah dengan kritis, logis, cermat dan tepat.
Kondisi di lapangan saat ini menunjukkan bahwa masih banyaknya guru yang menggunakan cara pendekatan konvensional yang tidak efektif dan menimbulkan kejenuhan siswa di dalam kelas, serta pendekatan ketrampilan proses dengan pembelajaran teoritis. Hal ini menjadi sebab rendahnya prestasi belajar siswa karena tidak adanya pembelajaran yang merangsang siswa aktif di dalam kelas. Maka guru dituntut untuk lebih professional, inovatif, persepektif, dan proaktif dalam melaksanakan pembelajaran sehingga pembelajaran lebih menarik siswa agar lebih aktif.
BAB II
PEMBAHASAN
Matematika memiliki nilai-nilai yang sangat penting dalam pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Dari beberapa ahli mendefinisikan belajar menurut visi masing-masing, diantaranya menurut :
A. Richard Skemp
Richard Skemp adalah pelopor utama dalm Pendidikan Matematika yang peyama kali mengintegrasikan disiplin matematika, pendidikan dan psikologi. Lahir di Bristol pada tangggal 10 Maret 1919 yang orang tua nya bernama Prof AR Skemp dari University of Bristol.Dan ia terpilih menjadi Presiden Group Internasional untuk Psikologi Pendidikan Matematika (PME) pada tahun1980. Richard percaya bahwa anak bisa belajar secara cerdas ssejak usia dini, menghasilkan kerangka kurikulum lengkap untuk usia 5-11 tahun yang dikenal sebagai Structured Kegiatan di Cerdas Belajar.
Menurut Richard Skemp, belajar matematika perlu dua tahap, yaitu sebagai berikut:
1. Perlu menggunakan benda-benda konkret untuk memberikan basis bagi peserta didik dalam menghayati ide-ide matematika yang abstrak.
2. Tingkat abstrak, yaitu mulai meninggalkan benda konkret untuk menuju ke pemahaman matematika yang memang memuat objek-objek abstrak
Richard Skemp mendukung interaksi siswa dengan objek-objek fisik selama tahap-tahap awal mempelajari konsep. Pengalaman awal ini akan membentuk dasar bagi belajar berikutnya yaitu pada tingkat abstrak.
Dapat kita contohkan untuk mengenal salah satu sifat perkalian 2 x 3 = 3 x 2, yang mana kita dapat menggunakan benda-benda konkret berupa buah jeruk atau benda disekitar kita seperti kerikil. Disini terdapat dua baris dan pada setiap baris terdapat 3 buah jeruk. Dalam matematika, model seperti ini dapat dinyatakan sebagai 2 x 3, karena banyaknya bbuah jeruk seluruhnya adalah 6 maka 2 x 3 = 6.
Sekarang kita dapat meminta siswa untuk menyusun 6 buah jeruk yang lain menjadi 3 baris dan pada tiap baris terdapat 2 buah jeruk, model ini menunjukan 3 x 2 = 2 x 3 sama dengan 6. Richard Skemp juga meyakini bahwa belajar menjadi berguna bagi seseorang. Sifat-sifat dari pengalaman harus dipadukan untuk membentuk suatu struktur konseptual atau suatu skema. Sehingga bagi guru berarti bahwa struktur matematika harus disusun agar jelas bagi siswa sebelum mereka dapat menggunakan pengetahuan awal sebagai dasar untuk belajar pada tahap berikutnya.
Skemp juga membedakan teori pemahaman yaitu relasional dan pemahaman instrumental. Skemp menyatakn bahwa pemahaman instrumental sejatinya belum termasuk pada katagori pemahaman; sedangkan pemahaman relasional memang benar sudah termasuk pada kategori pemahaman. Dimisalkan ada seorang siswa yang mampu menyelesaikan sebuah persoalan matematika, apakah siswa tersebut sudah memiliki pemahaman relasional atau hanya memiliki pemahaman instrumental ?.
Berdasarkan permasalahan diatas Skemp menyimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan sebuah persoalan matematika dapat dikategorikan sebagai pemahaman relasional dan dapat juga dikategorikan sebagai pemahaman instrumental dengan alasan sebagai berikut:
1. Dapat dikategorikan sebagai pemahaman relasional jika si siswa disamping ia sudah dapat menetukan hasil namun ia juga harus dapat menjelaskan maengapa hasilnya seperti itu.
2. Dapat dikategorikan hanya sebagai pemahaman instrumental jika si siswa hanya dapat menentukan hasil namun ia tidak dapat menjelaskan mengapa hasilnya seperti itu.
Siswa yang memiliki pemahaman relasional memiliki fondasi atau dasar yang lebih kokoh dalam pemahamannya tersebut. Jika siswa lupa dengan rumus, maka ia dapat menggunakan pemahaman nya dengan cara coba-coba dan dapat mengecek kebenaran hasil yang ia dapat dengan membalikan rumus.
Selama proses pembelajaran di kelas, para pendidik matematika diharapkan dapat memfasilitasi siswanya sedemikian rupa sehingga para siswa memiliki pemahaman relasional. Ada dua prinsip untuk matematika sekolah, yaitu;
• Prinsip pengajaran menyatakan bahwa pengajaran matematika yang efektif membutuhkan pemahaman terhadap pengetahuan siswa dan membutuhkan proses belajar, dan setelah itu menantang dan membantunya agar dapat belajar dengan baik.
• Prinsip pembelajaran menyatakan bahwa siswa harus belajar matematika dengan pemahaman secara aktif membangun pengetahuan baru berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang sudah dimilikinya.
Menurut Skemp, inti belajar matematika adalah agar siswa memiliki pemahaman relasional dimana para siswa harus dapat melakukan sesuatu (apanya) namun ia juga harus dapat menjelaskan mengapa ia harus melakukan sesuatu seperti itu(mengapanya).
B. EDWIN RAY GUTHRIE
Guthrie lahir pada 1886 dan meninggal pada 1959. Dia adalah professor psikologi di University of Washington dari 1914 sampai pensiun pada 1956. Dia sangat menekankan pada aplikasi praktis dari gagasannya dan dalam hal ini dia mirip dengan Thordike dan Skinner.
Guthrie membuat kontibusi yang patut diperhitungkan dalam dunia ilmu pengetahuan, khususnya filsafat, psikologi abnormal, psikologi social, pelajaran dan teori psikologi pada bidang pendididkan.Salah satu kontribusinya yang paling terkenal adalah teori belajar nya yang berdasar pada asosiasi.
Secara eksplisit tentang esensi belajar menurut Guthrie yang dikutip oleh Sumdi Suryabrata bahwasanya; belajar adalah sifat yang tumbuh dari jiwa manusia itu sendiri. Sebagian besar teori belajar dapat dianggap sebagai usaha untuk menentukan kaidah yang mengatur terjadinya asosiasi antara stimulasi dan respon.Guthhrie(1952) menjelaskan kendati hokum kontiguitas mungkin benar namun pada prediksi perilakunya selalu bersifat kemungkinan(probabilistik).
Dalam publikasi terakhirnya, Guthrie (1959) merevisi hokum kontiguitasnya menjadi “Apa-apa yang dilihat akan menjadi sinyal untuk apa-apa yang dilakukan”. Ini adalah cara Guthrie mengakui begitu banyaknya jumlah stimuli yang dihadapi organism pada satu waktu tertentu dan organisme tidak mungkin membentuk asosiasi dengan semua stimuli itu.Organisme akan merespons secara selektif pada sebagian kecil dari stimuli yang dihadapinya, dan proposi yang akan di asosiasikan dengan resppons.
Pada sisi lain, Guthrie menekankan bahwa model prilaku tidak dapat dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengukuhan dengan lingkungan maka perlu dapat memunculkan pengalaman-pengalaman dalam belajar.
Bagi Guthrie, suatu gerakan yang timbul baik berupa mendengar atau melihat dihasilkan dari stimuli yang muncul secara spontan. Dapat digambarkan dengan jelas, ketika telepon bordering dan kit aberanjak dan mendekati instrument tersebut.Dimana satu gerakan awal menghasilkan gerakan pertama, kemudian kedua, ketiga dan seeterusnya.Sehingga gerakan kita membentuk rangkaian yang terus menerus yang otomatiss menjadi kebiasaan. Dan hal ini di gambarkan oleh Guthrie sebagai berikut:
1) Stimulasi Eksternal Respon Bawaan Stimuli Penghasil Gerakan (dering telepon) (beranjak ke empat telepon).
2) Respon Bawaan Stimuli Penghasil Gerakan Respon Bawaan (berjalan kearah telepopn) (berdiri ke kursi).
3) Stimuli Penghasil Gerakan Respon Bawaan (mengangkat telepon).
Mengapa Praktik Latihan Meningkatkan Perfoma?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Guthrie membedakan antara tindakan dan gerakan. Gerakan adalah kontraksi otot; tindakan terdiri dari berbagai macam gerakan. Tindakan biasanya didefinisikan dalam term apa-apa yang dicapainya, yakni prubhan apa yang mereka lakukan dalam lingkungan. Sebagai contoh tindakan misalnya mengetik surat, makn pagi, melempar bola atau membaca buku.
Sebagaimna satu tindakan terdiri dari beberapa gerakan, satu keahlian juga terdiri dari beberapa tindakan. Jadi, belajar keahlian seperti menyetir mobil membutuhkan ribuan asosiasi antara stimuli spesifik dengan gerakan spasifik. Guthrie mengatakan, “ Belajar biasanya terjadi dalam satu episode asosiatif. Dibutuhkan banyak latihan dan banyak repitisi untuk mendapatkan keterampilan tertentu, sebab keterampilan membutuhkan banyak gerakan spesifik yang harus dikaitkan dengan berbagai situassi stimulus yang berbeda-beda. Keterampilan atau keahlian bukan kebiasaan sederhana, teetapi sekumpulan besar kebiasaan yang menghasilkan sesuatu prestasi tertentu dalam berbagai macam situasi”.
Ringkasnya, suatu keterampilan terdiri dari banyaknya tindkakan, dan tindakan terdiri dari banyak gerakan. Hubungan antara satu perrangkat stimuli dengan satu gerakan dipelajari secara lengkap dalam satu kali percobaan, namun proses belajar ini tidak melahirkan kemahiran dalam menjalankan suatu keahlian atau keterampilan.
Forgetting (Lupa)
Menurut Gathrie factor lupa terjadi ketika adanya alternative respon yang ada pada struktur stimuli. Setelah sebuah struktur stimuli dihasilkan oleh alternative respon maka struktur tersebut akan cenderung membawa respon baru yang menghambat. Oleh sebab itu melibatkan pembelajaran yang baru. Belajar yang dilakukan akan dipengaruhi oleh pembelajaran yang baru, misalnya seseorang ketika diperintahkan untuk mempelajari bahasa, lalu mempelajari matematika, kemudian di tes kembali dengan bahasa, sementara orang lain hanya disuruh mempelajari matematika, setelah itu juga di tes lagi tentang bahsa, mak orang pertama yang dites tentang bahasa dan matematika akan mengingat lebih sedikit tentang bahasa jika dibanjsingkan dengan orang keduayang hanya mempelajari sesuatu yang baru akan menghambat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya.
Hukuman ( Punishment)
Hukuman akan berlaku efektif apabila diterapkan pada kondisi yang tepat, misalnya pada saat tanda-tanda respons yang negative muncul. Efektifitas hukuman hendaknya didasari oleh alasan bahwa hukuman tersebut diberlakukan agar individu mampu menemukan atau melakukan respons yang benar atas stimuli yang diberikan . Terdapat tiga prinsip yang perlu diperhatikan dalm hal hukuman yakni:
a. Hukuman bukan berupa suatu yang menyakitikan akan tetapi sesuatu yang mendorong organism mau melakukan sesuatu.
b. Hukuman tersebut harus menyebabkan atau mengubah perilaku yang tidak sesuai dengan perilaku terhukum.
c. Hukuman harus diterapkan dengan adanya stimuli yang diperoleh dari perilaku terhukum.
Jika kondisi petama, kedua dan ketiga tidak dijumpai maka hukuman tidak akan berlaku efektif atau bahkan mungkin memperkuat respon yang tidak diinginkan. Jadi, ketika hukuman menjadi efektif hal ini mengakibatkan organism melakukan hal-hal lain selain dari hal yang dihukum, meskipun stimuli yang diperoleh perilaku yang dihukum tetap ada. Tentu saja respon ini mengakibatkan asosiasi baru yang telah dibentuk, dan selanjutnya terlihat stimuli, merka akan cenderung memperoleh respon yang dikehendaki sebagai pengganti respon yang tidak disenangi.
Metode Merubah Suatu Kebiasaan
Kebiasaan adalah respons yang menjadi diasosiasikan dengan sejumlah besar stimulus. Semakin banyak stimuli yang menimbulkan respons, semakin kuat kebiasaan. Misalkan merokok, dapt menjadi kebiasaan yang kuat karena respons merokok terjadi dihadapan banyak sekali petunjuk. Setiap petunjuk yang muncul setiap kali seseorang merokok akan cenderung menimbulkan prilaku merokok lagi saat petunjuk itu ditemuinya lagi. Guthrie (1952) mengindikasikan bahwa; “Kesulitan uttama dalam rangka menghindari kebiasaan buruk adlah karena petunjuk yang baik sangat sulit ditemui, dan dalam banyak system kebiasaan buruk ada banyak sekali petunjuk pendukung kebiasaan itu. Setiap pengulangan akan menambah satu atau lebih petunjuk baru yang memunculkan prilaku yang buruk.
Terdapat beberapa pendekatan untuk merubah kebiasaan tersebut, yaitu:
Metode Pemulaan ( Threshold Method)
Dimana stimulus dibiarkan dengan mengesankan atau kesan yang tidak membuat orang takut/terkejut, maka respon akan sepenuhnya baik. Seperti dalm proses psikoterapi, yakni jika seorang terapis mencoba membantu seorang pasien mengatasi suatu masalah phobia, maka ia akan menggunakan metode yang tidak memicu untuk terjadinya phobia. Jika pasien relative merasa ketakutan terhadap hewan, pertama – tama terapi dapat memulai berbicara mengenai hewan secara umum, kemudian macam-macamnya dengan berbagai jenis hewan melata, dan seterusnya sehingga dengan cara ini berangsur-angsur membangun suatu keadaan dimana pasien tersebut mengenal hewan tersebut bahkan menyentuhnya.
Metode Kepayahan (Fatique Method)
Dimana stimuli yang sulit direspon diberi ketika seseorang dalam kondisi kepayahan. Misalnya ketika dalam suatu keadaan timbul kesulitan untuk mengenalkan buaya yang dalam gambaran umumnya sangat buas, maka kondisi yang mudah adalah ketika buaya-buaya tersebut dalm kandang.
Metode Respons yang tidak Kompatibel (incompatible respons method)
Metode ini menghentikan kebiasaan, dengan metode ini stimuli untuk respons yang tidak diinginkan disajikan bersama stimuli lain yang menghasilkan respons yang tidak kompatibel dengan respons yang tidak diinginkan tersebut./ Misalkan memperlakukan anak kecil yang takut pada buaya, maka berilah anak itu boneka berbentuk buaya mlalui ibunya dengan penuh kasih sayang, hal ini bertujuan agar anak tersebut merasa senan dan tidak takut lagi kepada buaya.
Dengan metode respons yang tak kompatibel, dua stimuli dihadirkan kepada si pembelajar; satu stimuli menimbulkan respons yang tidak diinginkan dan satu stimuli lagi yang lebih kuat dan menyebabkan respons yang tak kompatibel dengan respons yang tak diinginkan terhadap stimuli yang sebelumnya menimbulkan respons yang tidak diinginkan.
Eksperimen Guthrie dan Horton
Pada tahun 1946 Guthrie melakjukan suatu studi kolaboratif dengan George P.Horton yang mana melibatkan prilaku kucing di dalam kotak Puzzle. Eksperimen Guthrie-Horton ini menggambarkan teori pelajaran assosiatif. Mereka menggunakan suatu kotak kaca yang diberi papan agar mereka bisa mengawasi pergerakan kucing itu. Kotak dibangun sedemikkian rupa sehingga kucing bisa mebuka pintu denan menyentuh tombol. Dengan menentukan waktu kira-kira 15 menit agar kucing dapat menyentuh tombol itu. Waktu yang kedua, kucing mempunyai kecenderungan untuk mengulang prilaku pertamnaya. Penelitian menunjukan bahwa kucing selalu mengulangi urutan pergerakan yang sama jika dihubungkan dengan yang sebelum dilepas dari kotak itu. Ini menujukan suatu contoh dari pengulangan prilaku. Eksperimen Guthrie- Horton menggambarakn pada kita semua untuk mengasumsikan perbanfingan hewan untuk belajar dari suatu hubungan antar stimulus dan tindakan sekedar tingkah laku dari pengalaman terdahulu.
Kontribusi Teori Guthrie
Guthrie adalah unik dalam penegasannya bahwa belajar berasal dari kontiguitas antara stimuli dan respons dan dari kontiguitas saja. Bahkan pengulas teori belajar awal (Mueller & Schoenfeld) menunjukan pendekatan kontiguitas Guthrie yang sederhana dapat menjelaskan semua fenomena dasar yang dianalisis oleh Skinner atau Hull. Teori Guthrie amat menarik banyak ilmuwan karena teorinya dapat menjelaskan proses belajar, pelenyapan, dan generalisasi, dengan analisi ssederhana, sedangkan teori lain menjelaskan hal-hal tersebut dengan cara yang lebih rumit. Selain itu, perluasaan teori ini ke aplikasi praktis bersifat langsung dan dijelaskan oleh Guthrie dengan cara yang menyenangkan dan penuh contoh, bukan dengan rumusan-rumusan terapi yang kering.
Meskipun teori Guthrie tidak memunculkan riset dan kontroversi sebagaimana teori Skinner –Hull, namun teorinya menyediakan penjelasan alernatif yang penting mengenai belajar. Selain itu, teorinya berfungsi sebagai pengingat bahwa suatu teori tidak harus sangat ruwet untuk menjelaskan prilaku yang kompleks. Fokus dari teori yang dimunculkan oleh Guthrie ini lebih mengarahkan pada perubahan kebiasaan yang dapt diterapkan dalm dunia pendidikan, khususnya pada pembiasaan anak didik di usia dini.Dimana dalam dunia pendidikan dapat dilakukan melalui teori metode drill tingkah laku yang dilakukan berulang-ulang.
Guthrie memulai proses pendidikan dengan menyatakan tujuan-tujuan tentang respon yang akan ditumbuhakan pada stimuli. Menurutnya lingkungan belajar hendaknya ditata sedemikian hingga agar respons yang dikehendaki muncul dengan adanya stimuli sehingga tujuan bisa tercapai. Motivasi bagi Guthrie tidak terlalu penting, karena yang terpenting baginya adalah anak didik dapat merespons secara tepat terhadap stimulus yang diberikan. Latihan adalah hal yang penting agar stimulus terus menerus terjadi dan tingkah laku yang dikehendaki muncul. Seluruh tingkah laku manusia dianggap sebagai deretan tingkah laku yang terdiri dari unit-unit, dimana unit-unit ini merupakan respons dari stimulus sebelumnya, kemudian unit-unit tersebut menjadi pula stimulus yang kemudian direspons oleh tingkah laku berikutnya.
Bagi Guthrie bahwa susunan anak didik yang belajar matematika dipapan tulis bukan suatu jaminan bahwa mereka akan belajar hal yang sama dibangku mereka. Pendidikan dikelas merupakan suatu usaha menggabungkan stimulus dan respons. Bagaimana pembelajaran dapat mempengaruhi factor luar kelas, jika respons yang muncul dari stimulus yang sama dengan apa yang dialami siswa disekolah dan membiarkan respon lain terhadap stimuli yang sama diluar kelas. Guthrie meyarankan bahwa pendidikan formal seharusnya menyerupai kehidupan nayta dimana guru disekolah harus mampu mengaplikasikan hal-hal yang praktis sebagaimana yang diterapkan diluar sekolah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Guthrie, pengalaman seseorang yang terjadi dimasa lalu cenderung membuatnya akan mengulangnya, dan ketika ini terjadi situasi akan menjadi rill dan muncul sebagai tindak lanjut dari apa yang pernah dilakukan.Prilaku dan pengalaman tersebut, kemudian berpeluang untuk terjadi lagi sehingga muncullah reinforcement. Kebiasaan merupakan respons yang datan dari asosiasi dengan banyak stimulus yang berlebihan, misalnya seorang ketika merrokok mengalami perubahan yang menjadi kebiasaan yang sangat kuat, dikarenakan respons dari pada rokok dapat menghadirkan banyak pengalaman yang tersimpan (kebiasaan), maka bagaimana kebiasaan merokok itu bisa berubah menjadi kebiasaan yang baik, bukan sebaliknya yakni menjadi kebiasaan yang buruk.
Hukuman dalam teori Guthrie menjadi sangat perlu ketika adanya efektifitas diterapkan pada kondisi yang tepat, yakni harus didasari alas an bahwa hukuman dilakukan sebagai upaya agar individu mampu menemukan sebagaimana yang diinginkan sehingga muncul respon yang benar atas stimuli yang benar.
Menurut Guthrie, lupa juga bsia terjadi ketika adanya alternative respons yang ada pada struktur stimuli. Setelah struktur stimuli dihasilkan oleh repons yang lain, maka struktur tersebut akan cenderung membawa respons baru yang menghambat.
B. Kritik dan Saran
Ada beberapa kelemahan pada teori Guthrie yang menjadi sorotan sekaligus sebagai kritikan dalam menjelaskan berbagai prinsip dalam belajar. Guthrie melakukan pendekatandengan prinsip yang sam sehingga psikolog lainnya sulit menemukan posisi Guthrie dalam jajaran ahli psikolog.
Muller dan Schoenfeld (1945) juga mengungkapkan bahwa Guthrie kurang menggunakan metodologi eksperimen dalam banyak hal dengan menggunakan alasan/dalil yang ambigu, yakni banyak mengandalkan hasil dari teori belajar tersebut, sehingga teori yang dihasilkan tersebut sulit diaplikasikan dalam fakta pendidikan langsung. Selainitu juga disampaikan oleh Moore dan Stuard (1979) bahwa percobaan yang dilakukan Guthrie masih diragukan karena menggunakan hewan ykani kucing piaraan dan kucing hiasdan lebih menunjukan fakta insting dari hewan tersebut. Jadi Guthrie masih memiliki beberapa kelemahan yang cukup mendasar dalam berbagai penelitiannya. Sedangkan hasil penelitiannya dengan Horton tentang kucing perlu dikembangkan untuk dikaji kembali, dengan menerapkan teori tersebut pada hewan-hewan selain kucing.
DAFTAR PUSTAKA
Hergenhahn, B.R & Olson, Matthew H.2008.Theories of Learning Edisi Ketujuh. Jakarta: Kencana
Setiawan.2003.Strategi Pembelajaran Matematika SMA. Yogyakarta: Pusat Pengembangan
Sumadi, Suryabrata.1987. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali
http://tip.psychology.org/skemp.html
http://psych.uiuc.edu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar